Selain perbedaan di dalam jumlah saudara kandung,
para keluarga yang anak-anaknya memiliki pengalaman berbeda dalam hal yang
penting. Jumlah anak yang dibesarkan di dalam keluarga yang single-parents mengejutkan.
Diantara keluarga yang memiliki ayah dan ibu, ada diantara mereka yang keduanya
bekerja, atau orang tua yang sudah cerai dan menikah lagi, atau orang tua yang
gay maupun lesbian. Perbedaan di dalam budaya dan socioeconomic status
(SES) juga mempengaruhi keluarga. Bagaimana variasi-variasi di dalam keluarga
ini mempengaruhi anak-anak?
Orangtua
Yang Kerja
Lebih dari dua ibu di Amerika Serikat dengan anak
berumur dibawah 5 tahun sebagai tenaga kerja; lebih dari dua dari setiap tiga
ibu dengan anak berumur 6 sampai 17 tahun. Pekerjaan ibu adalah bagian daari
kehidupan moderen, tapi efeknya itu masih diperdebatkan.
Bekerja bisa memberikan dampak positif dan negatif
dalam pengurusan anak (Goldberg & Lucas-Thompson, 2008). Penelitian terbaru
menyatakan bahwa apa yang penting bagi perkembangan aanak adalah sifat dari
orang tua yang bekerja apakah satu atau keduanya bekerja diluar rumah
(Clarke-Stewart, 2006; Goldberg & Lucas-Thompson, 2008). Ann Crouter (2006)
menjelaskan bagaimana orangtua membawa pengalaman mereka dalam pekerjaan ke
dalam rumah mereka. Dia menyimpulkan bahwa orang tua yang memiliki kondisi
kerja yang buruk, seperti terlalu lama bekerja, kerja lembur, pekerjaan yang
membuat dia stres, dan kurangnya kemandirian di tempat kerja, biasanya menjadi
lebih pemarah dan kurang aktif daripada rekan-rekan kerjanya yang memiliki
kondisi kerja yang lebih baik dalam pekerjaan mereka. Sebuah temuan mengatakan
bahwa anak-anak (terutama perempuan) yang ibunya bekerja kurang terlibat dalam gender stereotyping dan memiliki
egeliter dalam memandang jenis kelamin (Goldberg & Lucas-Thompson, 2008).
Anak
di Dalam Keluarga yang Bercerai
Tingkat perceraian berubah agak dramatis di Amerika
Serikat dan banyak negara di dunia pada akhir abad kedua puluh (Amato &
Irving, 2006). Tingkat perceraian di Amerika Serikat bertambah secara dramatis
pada tahun 1960-an dan 1970-an tetapi telah menurun sejak 1980-an. Akan tetapi,
tingkat perceraian di Amerika Serikat tetap lebih tinggi daripada sebagian
besar negara.
Diperkirakan 40 persen anak-anak di Amerika Serikat
lahir dari orang tua yang menikah akan mengalami perceraian orangtuanya
(Htherington & Stanley-Hagan, 2002).
Apakah
anak-anak lebih baik di dalam keluarga yang belum pernah bercerai atau di dalam
keluarga yang bercerai? Kebanyakan peneliti setuju jika
anak-anak dari keluarga yang bercerai menunjukkan penyesuaian mereka lebih
sedikit daripada keluarga yang tidak bercerai (Hetherington, 2006; Wallerstein,
2008). Orang-orang yang mengalami perceraian beberapa kali memiliki risiko yang
lebih besar. Anak-anak dari keluarga yang bercerai kebayakan meiliki masalah
akademik daripada anak-anak dari keluarga yang tidak bercerai, umtuk
menunjukkan masalah yang
dieksternalisasikan (seperti bertindak dan melakukan kejahatan) dan masalah
yang dinternalisasikan (seperti kecemasan dan depresi), menjadi kurang
bertanggung jawab secara sosial, memiliki hubungan yang kurang kompeten,
dikeluarkan dari sekolah, menjadi aktif secara seksual di usia dini, memakai
narkoba, bergaul dengan teman-teman yang antisosial, memiliki harga diri yang
rendah, akan kurang nyaman sebagai dewasa muda (Conger & Chao, 1996). Studi
yang terbaru menyatakan bahwa ketika seseorang yang mengalami perceraian
orangtuanya pada masa remaja anak tersebut, itu terkait dengan hubungan
romantis atau perkawinan yang tidak stabil dan tingkat pendidikan yang rendah
di masa dewasa ( Amato, 2006). Namun, mengingat kalau kebanyakan anak-anak
dalam keluarga yang bercerai tidak memiliki masalah penyesuaian yang signifikan
(Ahrons, 2007). Dalam suatu studi ditemukan kalau 20 tahun setelah orangtuanya
bercerai ketika mereka masih anak-anak, sekitar 80 persen orang dewasa
menyimpulkan bahwa perceraian orang tuanya itu adalah keputusan yang bijaksana
(Ahrons, 2004).
Apakah
orang tua harus tetap bersama demi anak-anaknya?
Apakah orangtua harus tetap bersama dikeadaan yang tidak bahagia dan konflik
pernikahan demi anak-anaknya adalah pertanyaan yang biasanya ditayakan dalam
perceraian (Hetherington, 2006). Jika ada masalah dalam hubungan keluarga yang
berkaitan dengan kektidakbahagiaan, masalah pernikahan yang mengurangi
kesejahteraan anak dikurangi dengan perceraian, single-parents family, perceraian bisa berguna. Akan tetapi, jika
sumber daya berkurang dan bertambahnya masalah yang terkait dengan perceraian
juga disertai dengan orangtua yang tidak layak dan meningkatkan konflik, bukan
hanya diantara pasangan yang cerai tapi juga dengan orang tua mereka, anak, dan saudara kandung, pilihan terbaik
untuk anak-anak yang pernikahannya dipertahankan (Hetherington &
Stanley-Hagan, 2002).
Bagaimana
proses keluarga di dalam keluarga yang bercerai?
Proses di dalam keluarga adalah sesuatu yang baik (Kelly, 2007; Wallerstein,
2008). Ketika hubungan orang tua yang bercerai dengan satu sama lain serasi,
dan ketika mereka mengurus anak dengan otoriter, penyesuaian anak-anaknya
bertambah (Hetherington, 2006).
Faktor-faktor
apa yang mempengaruhi kerentanan individu anak untuk merasakan konsekuensi
negatif yang hidup dalam keluarga yang bercerai?
Diantara faktor-faktor yang melibatkan risiko anak dan kerentanan adalah penyesuaian
anak sebelum perceraian, maupaun kepribadian dan watak anak, jenis kelamin, dan
custody situation (Hetherington,
2006). Anak-anak yang orang tuanya kemudian bercerai akan susah
menyesuaikan sebelum mereka bercerai
(Amato & Booth, 1996).
Ellen Galinsky dan Judy David (1988) mengembangkan
sebuah pedoman untuk berkomunikasi dengan anak-anak mengenai perceraian.
·
Menjelaskan
perpisahan. Memungkinkan jika salah satu orang tua
meninggalkan rumah, beri tahu anak. Jika memungkinkan, kedua orang tua harus
ada ketika memberitahu anak-anak mengenai perpisahan yang akan datang.
Alasannya karena anak-anak akan sangat susah mengerti. Apa pun yang dikatakan
orang tua kepada anaknya, anaknya akan mencari alasan untuk mebantah perpisahan
tersebut. Penting buat orang tua untuk memberitahu anak siapa yang akan
mengurusnya dan menjelaskan kepadanya perjanjian bagaimana caranya untuk
menemui orang tua yang satu lagi.
·
Menjelaskan
bahwa perpisahan bukan salah anak. Anak-anak biasanya
percaya jika perpisahan atau perceraian orang tuanya itu merupakan salahnya.
Jadi, penting untuk memberitahu anak bahwa itu
bukan salahnya. Orang tua harus menjelaskan secara berulang hal tersebut.
·
Jelaskan
bahwa memakan waktu untuk merasa lebih baik. Beritahu
anak-anak bahwa normal jika kita merasa tidak baik dan banyak anak-anak yang
merasakan hal tersebut ketika orang tuanya.
·
Lebih
terbuka untuk berdiskusi dengan anak. Beritahu anak anda
untuk mendatangi anda kapan pun untuk membicarakan tentang perpisahan.
Baik-baik aja bagi anak untuk mengungkapkan emosi terpendamnya dalam berbicara
dengan orang tua dan belajar jika orang tua rela mendengarkan perasaan dan
ketakutannya.
·
Memberikan
sebanyak-banyaknya. Semakin sedikit dunia anak terganggu
dengan perpisahan, semakin mudah transisi untuk menjadi single-parent.
·
Memberikan
support kepada anak dan diri anda. Setelah perceraian atau
perpisahan, orang tua itu penting bagi anak sama seperti sebelum perceraian
atau perpisahan.
Orang
Tua Gay dan Lesbian
Semakin bertambah
pasangan gay dan lesbian membuat keluarga termasuk anak. Sekitar 20 persen
lesbian dan 10 persen gay adalah orang tua (Patterson, 2004). Ada lebih dari 1
juta orang tua gay dan lesbian di Amerika Serikat.
Seperti pasangan
heteroseksual, gay dan lesbian sangat berbeda. Mereka bisa saja sendirian atau
memiliki pasangan sesama jenis.
Kebanyakan anak dari
orang tua yang gay dan lesbian lahir di dalam hubungan heteroseksual yang
berakhir pada perceraian-biasanya kasus seperti itu, mungkin saja hubungan
dimana satu atau kedua orang tua baru menyadari jika mereka adalah gay atau
lesbian.
Kedudukan sebagai orang
tua diantara lesbian dan gay kontroversial. Pihak lain mengatakan bahwa tidak
baik anak dibesarkan dari orang tua yang gay dan lesbian. Tetapi para penemu
menemukan beberapa perbedaan diantara anak yang tumbuh dengan ibu lesbian atau
ayah gay di sisi yang lain, dan anak yang tumbuh dengan oran tua yang
heteroseksual di sisi yang lain (Patterson, 2004; Patterson & Hastings, 2007).
Budaya,
Etnis, dan Variasi Ekonomi Sosial
Menjadi orang tua dapat
dipengaruhi oleh budaya, etnis, dan status ekonomi sosial. Dilihat dari teori ekologikal Bronfenbrenner
jika nilai dari konteks sosial mempengaruhi perkembangan anak. Di teori
Bronfenbrenner, budaya, etnis, dan status ekonomi sosial tergolong sebagai
bagian dari macrosystem karena
mwakili secara luas dalam konteks sosial.
Studi
Lintas Budaya. Perbedaan budaya biasanya memberi
kawaban yang berbeda dalam pertanyaan yang sederhana seperti apa peran ayah
dalam keluarga, suport seperti apa yang ada di dalam keluarga, dan bagaimana
anak-anak harus disiplin (Fiese & Winter, 2008). Banyak variasi penting
dari studi lintas budaya di dalam menjadi orang tua (Kagitcibasi, 2007). Di
beberapa budaya (seperti negara Arab), otoriter orang tua itu luas.
Etnis.
Keluarga
dalam perbedaan kelompok etnis di Amerika Serikat berbeda dalam tipikalnya,
struktur, komposisi, ketergantungan kepada kekerabatan, dan tingkatan
pendapatan dan pendidkan (Hernandez, Denton, &Maccartney, 2007; Liu &
others, 2009).
Keluarga single-parent biasanya lebih kepada
orang Afrika Amerika dan Latin daripada dengan orang Amerika berkulit putih
(Coltrane & others, 2008; Harris & Graham, 2007). Sebagai
perbandingannya dengan dua orang yang berumah tangga, keluarga yang single-parent biasanya waktunya
terbatas, uang, dan tenaga (Barajas, Philipsen, & Brooks-Gunn, 2008;
Willson, 2008).
Status
Social Ekonomi. Keluarga yang berpenghasilan rendah memiliki
akses yang sedikit untuk mendapatkan hasil daripada mendapatkan pendapatan yang
besar (Leon-Guerrero, 2009). Perbedaan akses penghasilan ini termasuk nutrisi,
kepedulian akan kesehatan, perlindungan dari bahaya, dan memperkaya pendidikan
dan peluang sosial, seperti menjadi
tutor dan pelajaran di setiap kegiatan.